Betulkah BPJS Bangkrut?
Direktur
Perencanaan dan Pengembangan BPJS Tono Rustiano mengatakan BPJS
terancam bangkrut. Hal ini disebabkan jumlah pendapatan yang masuk dari
iuran peserta tidak sebanding besarnya dana yang dikeluarkan untuk
membayar kapitasi dan klaim rumah sakit. Saat ini katanya: BPJS harus
membayar kapitasi PPK 1 dan INA CBG RS sebesar Rp 2 Trilun/bulan(1).
Betulkah pernyataan petinggi BPJS ini? Apakah benar dana peserta tidak
cukup menutupi biaya pelayanan kesehatan peserta? Apakah pernyataan ini
tidak membohongi publik?
Mari kita lihat kebelakang, bandingkan dengan Program Jamkesmas pada tahun
2011 dan 2012 dengan premi hanya Rp 6500/orang, program Jamkesmas masih
surplus. Ketika pada tahun 2013, dengan premi yang sama Jamkesmas
mengalami defisit sebesar Rp 1,2 Triliun. Kalau dilihat data anggaran
Jamkesmas 2011 sd 2013 boleh dikatakan tidak terjadi defisit biaya yang
cukup besar dengan premi hanya Rp 6500/peserta/bulan.Pertanyaannya,
apakah dengan premi minimal Rp 19.250/orang/bulan untuk peserta PBI (
pemerintah bayar iur) BPJS akan bangkrut? Bandingkan dengan anggaran
Jamkesmas 2013 hanya sebesar Rp 6,598 Triliun per tahun plus defisit Rp
1,2 Triliun, total hanya Rp 7,798 Triliun per tahun. Sehingga besaran
selisih biaya Jamkesmas 2013 dengan PBI 2014 adalah Rp
19,542 Triliun/tahun - Rp 7,798 Triliun per tahun = Rp 11,744 Trilun
pertahun. Dengan dana PBI sebesar itu; betulkah pernyataan petinggi BPJS
bangkruut? Malahan perlu dipertanyakan publik bagaimana akuntabilitas
pengelolaan dana tersebut?
Mari kita hitung berapa sebenarnya anggaran atau dana BPJS pada tahun 2014. Bila jumlah peserta PBI 84,6 juta dan premi Rp 19.250/orang/bulan sehingga total anggaran PBI pertahun adalah 84,6
juta x Rp 19.250 x 12 = Rp 19,542 Triliun/tahun. Ditambah peserta yang
berasal JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI dan POLRI beserta
anggota keluarga jumlahnya sekitar 25,2 juta peserta. Seandainya semua
peserta pekerja formal ini membayar minimal Rp 45.500 untuk mendapatkan
pelayanan rawat inap kelas 2 di rumah sakit jaringan maka total dana
adalah Rp 45.500 x 25.200.000 x 12 = Rp
13,759 Triliun. Selama ini kelompok pekerja formal ini selalu
memberikan keuntungan kepada perusahaan yang mengelola dana peserta ini
sepanjang tahun (PT Askes dan Jamsostek). Dengan demikian, total minimal
dana BPJS pada tahun 2014 adalah Rp 19,542 Triliun + Rp 13,759 Triliun +
Rp 5,5 triliun (dana PT ASKES) = Rp 38,801 Triliun. (penulis dapat info
anggran BPJS untuk tahun 2014 lebih dari Rp 39 Triliun) Masalahnya,
apakah peserta mandiri yang jumlahnya baru 1,2 jutaan (data akhir
Maret) sudah akan membangkrutkan BPJS? Apakah ini pernyataan didasari
oleh data yang akurat? Atau ini merupakan pola pikir perusahaan yang
masih dimiliki oleh petinggi BPJS? Ini BPJS bukan Perseroan Terbatas
yang harus cari untung maksimal, bung!
Apalagi
kalau kita bandingkan dengan besar biaya per peserta Jamkesda saat ini
yang berkisar Rp 6.700/orang/bulan sd Rp 10.000/orang/bulan. Pengelola
Jamkesda Jatim dengan biaya per peserta Rp 6700/orang/bulan tidak pernah
berteriak akan bangkrut, malahan selalu ada sisa anggaran yang dapat
digunakan untuk pembiayaan untuk tahun berikutnya. Apakah BPJS perlu
belajar bagaimana mengelola dana peserta dengan efisien kepada Jamkesda?
Disamping itu, setiap penentuan nilai premi selalu dilakukan underwriting
dengan akurat untuk mencegah resiko finansial yang bisa tidak
ditanggung oleh perusahaan asuransi atau BPJS. Tentunya, ketika
menetapkan premi sebesar Rp 19.250/orang/bulan; besaran ini bukanlah
datang begitu saja dari langit. Mestinya, Kemenkes dan BPJS dibantu oleh
para ahli telah menghitung kemungkinan resiko biaya yang dibutuhkan untuk adverse selection
peserta. Para ahli mestinya telah memperkirakan berapa jumlah peserta
yang sakit akan mendaftar jadi anggota kemudian menghitung berapa
besaran premi yang harus ditetapkan. Kalau melihat besaran premi dan telah memperhitungkan resiko jumlah adverse selection peserta; mestinya BPJS tidak akan bangkrut. Mungkin hanya paranoid petinggi BPJS, sajalah.
INA CBG Ditukangi, BPJS Bangkrut!!!
|
Banyak rumah sakit belum dibayar atau telat bayar oleh BPJS walau telah
sudah diverifikasi dan menyerahkan klaim kepada BPJS. Seharusnya, badan
ini menurut peraturan harus membayar RS setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kondisi finansial RS
dan selanjutnya berefek terhadap kualitas pelayanan kepada peserta.
Jangan heran kalau peserta yang ketempuan anomali pelaksanaan JKN oleh BPJS.
Senjangnya operasional BPJS disebabkan BPJS berfungsi hanya sebagai kasir JKN. Mestinya BPJS berperan sebagai lembaga Managed Care yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan dan keuangan sehingga program menjadi efektif dan efisien. Apakah BPJS sebenarnya cacat kongenital? (Bagaimana para bidan BPJS? Kok jadi begini?) Kenapa BPJS tidak dapat berperan dengan seharusnya?
Kondisi ini, diperparah dengan lemahnya personel BPJS terutama inferiornya verifikator klaim RS. Karena banyak verifikator baru direkrut bulan Januari 2014 sehingga belum mendapatlan pelatihan cukup untuk dapat berkerja dengan baik. Verifikator ini tidak mempunyai cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mengenal kemungkinan abuse dan fraud pada klaim RS. Verifikator
gamang berhadapan dengan penangungh jawab INA CBG RS yang banyak punya
latar belakang dokter dan dokter spesialis. Pihak RS dengan mudah dapat
mempengaruhi bahwa semua tindakan pada klaim RS adalah sudah benar dan sesuai dengan standar pelayanan medis. Verifikator sulit untuk mempertanyakan atau berdebat dengan pihak RS karena pada posisi inferior baik pengetahuan dan skill terhadap pelayanan medis. BPJS bobol karena terjadinya over pricing pada klaim RS sangat mungkin! Karena itu peningkatan kualitas verifikators BPJS is a must! Paling penting adalah pengetahuan dan skill verifikator untuk mendeteksi adanya moral hazard.
Apakah terjadi fraud pada pelayanan RS?
Pihak RS akan selalu mengatakan klaim mereka bersih dari abuse dan fraud. Mereka selalu mengatakan sekedar kiat untuk membuat RS tidak merugi. Apakah pernyataan ini dapat dibenarkan? Berikut beberapa operandi dugaan bentuk fraud yang dilakukan oleh pihak RS.
Pertama, pada klaim rawat jalan banyak
pihak RS melakukan multipel kunjungan rawat jalan. Biasanya, pada
penderita penyakit kronis yang biasanya satu kali visit/bulan dilakukan 2
s/d 4 kali kunjung untuk mendapatkan revenue yang lebih besar
hanya dari satu peserta. Ada juga RS hanya memberikan obat tidak lebih
dari Rp 50.000/visit dan hindari pemeriksaan lab atau pendukung lainnya
sehingga RS masih cukup untung besar. Pelayanan ini berakibat turunnya
kualitas pelayanan RS, kalau dibiarkan akan membuat branding
RS Indonesia semakin terpuruk! Tentu, yang paling malang adalah pasien
yang notobene peserta BPJS dan malang-melintang tidak satupun lembaga
yang melindungi hak-hak peserta termasuk BPJS sendiri.
Kedua, Ada operandi fraud pada
rawat jalan RS yang lebih halus dan akan sangat merugikan BPJS. Penulis
mendapat informasi apa yang dilakukan oleh satu RS swasta untuk menukangi
tarif rawat jalan INA CBG yang sebesar Rp 160.000/visit s/d Rp 165.000
visit pada RS type B. Contoh: pada pasien Diabetes Millitus (DM) rawat
jalan bisa dapat disulap tarifnya menjadi sebesar Rp 1.600.000/visit.
Bagaimana caranya? Setelah pasien di diagnosa menderita DM kemudian
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) dan fungsi hati (SGOT
& SGPT), kemudian diberikan suntikan insulin, terakhir software INA
CBG ditukangi dengan input procedures: other diagnostic on pancreas¸ maka tarif bisa disulap menjadi Rp 1.600.000/visit.
Masalahnya apakah semua pasien DM setiap visit perlu periksa SGOT dan
SGPT? Mungkin untuk kunjungan pertama dibutuhkan! Apakah setiap pasien
harus di injeksi insulin? Tentunya ada ketentuan yaitu bila gula darah
>200 mg/100 ml darah. Apakah procedures: other diagnostic on pancreas dapat dibenarkan untuk pasien DM? Input kode tindakan pada pancreas dengan terapi insulin pada DM suatu tindakan yang sangat ngawuur. Ini dapat dipastikan tindakan Fraud. Yang perlu diwaspadai oleh BPJS adalah operandi ini terus berkembang dan menyebar luas ke RS2. Kalau ini terjadi BPJS bisa collaps bung! Nah, INA CBG tidak mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kemungkinan white collar fraud yang seperti ini. Kecurangan ini hanya dapat ditangkal secara manual, sedangkan verifikator kemampuannya terbatas.
Berapa
besar prediksi kerugian untuk kasus pasien DM rawat jalan RS? Dari data
Pusdatin Depkes 2014, penderita DM seluruh Indonesia berjumlah 21,3
juta orang. (www.depkes.go.id/index.php/vw=2&id=414). Berdasarkan data Jamkeskin Jakarta evidense visits adalah 5/1000/bulan penderita DM akan berkunjung ke RS. Dengan demikian, dapat
diperkirakan jumlah pasien DM yang membutuhkan rawata jalan RS adalah
5/1000/bulan x 21.300.000 = 106.500 org/bulan. Perkiraan kerugian yang
bisa diderita BPJS adalah (Rp 1.600.000 – Rp 160.000) x 106.5000/bulan x
12 = Rp 1,840 Triliun/tahun! Angka yang mencengangkan, hanya untuk satu
jenis diagnosa penyakit! Bagaimana kalau banyak jenis diagnosa penyakit
yang bisa ditukangi karena kelemahan software INA CBG? Ditambah lagi verifikator masih baru dan kompetensi nya tidak cukup! Bobol deh BPJS!
Ketiga, operandi kecurangan pasien rawat inap yang lebih mengerikan! Fraud ini dilakukan pada pasien rawat inap yang perlu operasi katarak di RS. Setelah pasien rawat inap di diagnosa menderita katarak, kemudian dilakukan tindakan: 1. Phaco adalah teknik tindakan pada operasi katarak. 2. IOL adalah intra
oculer lens. Lensa pengganti yang ditanamkan dalam mata sebagai
pengganti lensa kita yg sudah buram karena katarak. Kalau tindakan
sampai disini maka biaya operasi katarak hanya sekitar Rp
4.000.000/operasi. Selanjutnya ada pihak RS yang menukangi software INA CBG dengan menambahkan input Other diagnosnistic on blood vessel, maka tarif berubah menjadi Rp 22.000.000/operasi. Luaaar biasa, bukan? Ini sebuah kelemahan lagi dari software INA CBG! Sebenarnya Procedure Other diagnosnistic on blood vessel adalah suatu tindakan fraud! Kenapa operasi katarak disulap menjadi operasi pembuluh darah!? Kalaupun terjadi inilah salah satu yang disebut: preventable adverse events. Maka
seluruh konsekuensi biaya terhadap even tersebut harus ditanggung oleh
dokter dan RS, bukan asuradur! Bagaimana cara deteksinya? Verifikator harus knowledgeable and experience dan tidak inferior complex! Salah
satu kiat yang paling mudah adalah kalau terjadi tindakan seperti ini
harus ada dokter spesialis bedah vascular dan benar dia melakukan
operasi ini di RS tersebut!
Berapa prediksi kerugian BPJS via pasien katarak? Jumlah penderita katarak di Indonesia pada tahun 2013 sekitar 1,5% penduduk atau 2000.000 orang (www.beritasatu.com). Kalau dianggap peserta BPJS baru 50% jumlah penduduk maka penderita katarak 1000.000 peserta. Berdasarkan data Jamkeskin
Jakarta diperkirakan 5/10.000/penderita/tahun akan membutuhkan operasi
katarak di RS. Dengan demikian, dapat diperkirakan jumlah pasien katarak
yang membutuhkan operasi yaitu: 5/10.000/tahun
x 2000.000 = 1000.000 org/tahun. Perkiraan kerugian yang bisa diderita
BPJS adalah (Rp 22.000.000 – Rp 4.000.000) x 1000.000/tahun= Rp 18
Triliun/tahun! Angka yang menakutkan, hanya untuk satu jenis operasi
saja!
BPJS harus segera melakukan tindakan pencegahan kemungkinan tindakan fraud yang bisa membangkrutkan BPJS dengan memperkuat tim verifikator dan mengembangkan Unit Anti Fraud. Jangan Pimpinan BPJS hanya berkilah kami hanya Juru bayar semua ditentukan oleh regulator alias Kemenkes RI. Jangan sampai BPJS seperti kasus bailout Bank
Century! Bisa-bisa, banyak yang jadi buronan KPK dan masuk Bui!!! Untuk
National Casemix Center Kemenkes RI harus segera me-review dan
mengoreksi INA CBG software yang banyak kelemahan ini.
Anda ingin tau lebih lanjut dan penasaran...???
Ikut Pelatihan kami bersama Pakar kami
DR. Yaslis Ilyas, DRG. MPH. HIA. MHP. AAK
Tanggal 29 - 30 April 2014
No comments:
Post a Comment